Rabu, 05 Februari 2014

Wasit untuk Diri Sendiri


Mamad adalah orang yang sederhana dalam pola pikir dan menjalani hidup. Namun, siapa sangka di balik itu tampak kejujuran yang luar biasa. Di kantor tempatnya bekerja, dia tak mau menggunakan selembar kertas pun untuk kepentingan pribadi padahal tak ada yang melihat dan mengawasinya. Selembar kertas dari setumpuk yang tersedia tak pernah dipakainya untuk keperluan dirinya. Boro-boro kenal dengan Mr. Brooks, yang kutipannya dipakai dalam tulisan kali ini, Mamad dengan segala kepolosannya bisa memenangkan pertarungan luar biasa yang dimaksudkan Brooks. Selembar kertas bisa menjadi ajang berat bagi hati nurani Mamad, tetapi Mamad bisa memutuskannya dengan sempurna, kertas itu milik kantor dan dia tak berhak menggunakannya. Hampir tak ada konflik didalamnya karena Mamad sudah mendapatkan jawabnya.
                Si Mamad, tokoh itu, memang hanya ada dalam film karya Sjumandjaja. Sepulang dari belajar film di Rusia, Sjumandjaja membuat film itu dengan memasang aktor andal, Drs. Purnomo alias Mang Udel. Pesan dalam film ini mudah sekali ditangkap, begitu berhadapan dengan segala benturan kepentingan yang berhadapan, selalu ambillah pilihan yang benar dan tepat. Sekali lagi, sebelum memutuskan sesuatu, Mamad pasti berkonflik dalam dirinya. Beli kertas di luar lebih baik ketimbang mengambil sesuatu yang bukan miliknya.
                Apakah kita sudah berlaku seperti Mamad? Rasanya berat sekali dan jelas sulit dilakukan. Saat di kantor, kita selalu kalah. Pesawat telepon di atas meja kita ambil lalu kita putar nomor telepon seluler kawan untuk memastikan pertemuan reuni dengan teman lain semasa kuliah dulu. Persis seperti Mamad, namun bedanya kita kalah dengan konflik itu sendiri. Menelepon dengan fasilitas kantor untuk keperluan pribadi, ehm, gratis sih, tapi apakah tindakan itu benar? Apalagi kantor sudah berbaik hati memberikan sedikit subsidi pulsa. Tentu saja kita bisa berdalih, ah, semua orang di kantor malakukannya, dan waktu yang dipakai untuk menelepon itu toh hanya sebentar. Lagipula, nah alasan ini yang biasanya sering muncul, kantor untung terus tapi kenaikan gaji hanya sebesar upil. Jadi, boleh dong memakai telepon kantor. Namun, sekali waktu bila tagihan telepon di rumah melambung, tinggi dan ternyata pemakai pulsa itu si pembantu atau pengasuh anak untuk berhalo-halo dengan bedinde di luar kota, sudah jelas meledaklah kemarahan kita. Pembantu rumah tangga yang memakai telepon majikannya adalah salah satu contoh ketika benturan kepentingan terjadi. Si pembantu tak bisa menjadi wasit yang paling adil. Semestinya, walaupun dia menguasai telepon pada masa-masa tertentu saat kedua majikannya pergi bekerja, dia tak boleh memakai telepon tersebut.
                Benturan kepentingan sering kali kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, yang kelihatannya ringan sekalipun, bahkan tanpa sadar kita lakukan sendiri, misalnya memarkir mobil di jalan, bukan di garasi, padahal itu jalan umum, menggunakan internet untuk urusan pribadi, seperti chatting, mengirim dan menerima email, atau hanya sekadar browsing, atau menggunakan kendaraan kantor untuk urusan dugem.
                Kelihatannya memang sepele. Kita bahkan menganggapnya sebagai hal biasa dan tak ada rasa bersalah. Tetapi, patut diingat bahwa hal-hal kecil seperti ini adalah awal dari dilakukannya kesalahan besar. Koruptor di negara ini, dalam melakukan tindakan kriminalnya, tentu tidak ujug-ujug langsung melakukan korupsi, tentu dimulai dari hal-hal kecil seperti ini. Dari kebiasaan yang buruk dan terus dilakukan secara berulang-ulang inilah akhirnya mereka berani melakukan kesalahan besar.
                Dalam laporannya di edisi ajauni 2007, majalah Gatra secara khusus membeberkan adanya proyek-proyek pemerintah yang dinilai berbau benturan kepentingan. Perusahaan-perusahaan yang menangani proyek pemerintah tersebut dimiliki oleh pejabat atau keluarga pejabat yang masih memangku jabatan di pemerintahan. Negara ini pun sesungguhnya sudah menangani dan menindaklanjuti secara hukum beberapa kasus yang berbau benturan kepentingan. Kasus serupa menimpa PT PGN yang diganjar sanksi administratif berkaitan kasus informasi orang dalam(insider trading).
                Tuh kan, dari hal kecil bisa menjadi kebiasaan buruk. Ketika menghadapi masalah yang terkait dengan benturan kepentingan ini, kita memang dihadapkan pada keadaan dilematis, kadang-kadang bagai makan buah simalakama, ”dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu yang mati”. Bagaimana caranya agar kita dapat mengatasi masalah yang terkait dengan benturan kepentingan? Pertama kali kita harus secara sadar dan bertanggung jawab mengetahui terlebih dulu mana kepentingan yang merupakan wilayah publik dan mana kepentingan yang merupakan wilayah pribadi. Setelah mengetahuinya, berpikirlah dengan hati yang jernih. Apabila mau berpikir ke depan, bukan untuk kepentingan sesaat dengan tujuan mengutamakan kemaslahatan orang banyak, kita dapat memutuskan kebijakan dan keputusan terbaik agar terhindar dari benturan kepentingan. Pada walnya mungkin sulit, tetapi bila mau dan memang harus mau, selanjutnya akan mudah.
                Konflik terbesar bukanlah dengan orang lain melainkan dengan diri kita sendiri. Sudah menjadi hukum alam, selama hidup di dunia, benturan kepentingan akan selalu menyertai langkah kita. Semua terserah kita sendiri, larut dalam kesenangan yang bukan menjadi hak atau meraih kemenangan dari perang sesungguhnya yang kita pilih. Bisa???

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar