Mamad adalah orang yang sederhana dalam pola pikir dan
menjalani hidup. Namun, siapa sangka di balik itu tampak kejujuran yang luar
biasa. Di kantor tempatnya bekerja, dia tak mau menggunakan selembar kertas pun
untuk kepentingan pribadi padahal tak ada yang melihat dan mengawasinya.
Selembar kertas dari setumpuk yang tersedia tak pernah dipakainya untuk
keperluan dirinya. Boro-boro kenal dengan Mr. Brooks, yang kutipannya dipakai
dalam tulisan kali ini, Mamad dengan segala kepolosannya bisa memenangkan
pertarungan luar biasa yang dimaksudkan Brooks. Selembar kertas bisa menjadi
ajang berat bagi hati nurani Mamad, tetapi Mamad bisa memutuskannya dengan
sempurna, kertas itu milik kantor dan dia tak berhak menggunakannya. Hampir tak
ada konflik didalamnya karena Mamad sudah mendapatkan jawabnya.
Si
Mamad, tokoh itu, memang hanya ada dalam film karya Sjumandjaja. Sepulang dari
belajar film di Rusia, Sjumandjaja membuat film itu dengan memasang aktor
andal, Drs. Purnomo alias Mang Udel. Pesan dalam film ini mudah sekali
ditangkap, begitu berhadapan dengan segala benturan kepentingan yang
berhadapan, selalu ambillah pilihan yang benar dan tepat. Sekali lagi, sebelum
memutuskan sesuatu, Mamad pasti berkonflik dalam dirinya. Beli kertas di luar
lebih baik ketimbang mengambil sesuatu yang bukan miliknya.
Apakah
kita sudah berlaku seperti Mamad? Rasanya berat sekali dan jelas sulit
dilakukan. Saat di kantor, kita selalu kalah. Pesawat telepon di atas meja kita
ambil lalu kita putar nomor telepon seluler kawan untuk memastikan pertemuan
reuni dengan teman lain semasa kuliah dulu. Persis seperti
Mamad, namun bedanya kita kalah dengan konflik itu sendiri. Menelepon dengan
fasilitas kantor untuk keperluan pribadi, ehm, gratis sih, tapi apakah tindakan
itu benar? Apalagi kantor sudah berbaik hati memberikan sedikit subsidi pulsa.
Tentu saja kita bisa berdalih, ah, semua orang di kantor malakukannya, dan
waktu yang dipakai untuk menelepon itu toh hanya sebentar. Lagipula, nah alasan
ini yang biasanya sering muncul, kantor untung terus tapi kenaikan gaji hanya
sebesar upil. Jadi, boleh dong memakai telepon kantor. Namun, sekali waktu bila
tagihan telepon di rumah melambung, tinggi dan ternyata pemakai pulsa itu si
pembantu atau pengasuh anak untuk berhalo-halo dengan bedinde di luar kota,
sudah jelas meledaklah kemarahan kita. Pembantu rumah tangga yang memakai
telepon majikannya adalah salah satu contoh ketika benturan kepentingan
terjadi. Si pembantu tak bisa menjadi wasit yang paling adil. Semestinya,
walaupun dia menguasai telepon pada masa-masa tertentu saat kedua majikannya
pergi bekerja, dia tak boleh memakai telepon tersebut.
Benturan
kepentingan sering kali kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, yang
kelihatannya ringan sekalipun, bahkan tanpa sadar kita lakukan sendiri,
misalnya memarkir mobil di jalan, bukan di garasi, padahal itu jalan umum, menggunakan
internet untuk urusan pribadi, seperti chatting, mengirim dan menerima email,
atau hanya sekadar browsing, atau menggunakan kendaraan kantor untuk urusan
dugem.
Kelihatannya
memang sepele. Kita bahkan menganggapnya sebagai hal biasa dan tak ada rasa
bersalah. Tetapi, patut diingat bahwa hal-hal kecil seperti ini adalah awal
dari dilakukannya kesalahan besar. Koruptor di negara ini, dalam melakukan
tindakan kriminalnya, tentu tidak ujug-ujug langsung melakukan korupsi, tentu
dimulai dari hal-hal kecil seperti ini. Dari kebiasaan yang buruk dan terus
dilakukan secara berulang-ulang inilah akhirnya mereka berani melakukan
kesalahan besar.
Dalam
laporannya di edisi ajauni 2007, majalah Gatra secara khusus membeberkan adanya
proyek-proyek pemerintah yang dinilai berbau benturan kepentingan. Perusahaan-perusahaan
yang menangani proyek pemerintah tersebut dimiliki oleh pejabat atau keluarga
pejabat yang masih memangku jabatan di pemerintahan. Negara ini pun
sesungguhnya sudah menangani dan menindaklanjuti secara hukum beberapa kasus
yang berbau benturan kepentingan. Kasus serupa menimpa PT PGN yang diganjar
sanksi administratif berkaitan kasus informasi orang dalam(insider trading).
Tuh
kan, dari hal kecil bisa menjadi kebiasaan buruk. Ketika menghadapi masalah
yang terkait dengan benturan kepentingan ini, kita memang dihadapkan pada
keadaan dilematis, kadang-kadang bagai makan buah simalakama, ”dimakan bapak
mati, tidak dimakan ibu yang mati”. Bagaimana caranya agar kita dapat mengatasi
masalah yang terkait dengan benturan kepentingan? Pertama kali kita harus
secara sadar dan bertanggung jawab mengetahui terlebih dulu mana kepentingan
yang merupakan wilayah publik dan mana kepentingan yang merupakan wilayah
pribadi. Setelah mengetahuinya, berpikirlah dengan hati yang jernih. Apabila
mau berpikir ke depan, bukan untuk kepentingan sesaat dengan tujuan
mengutamakan kemaslahatan orang banyak, kita dapat memutuskan kebijakan dan
keputusan terbaik agar terhindar dari benturan kepentingan. Pada walnya mungkin
sulit, tetapi bila mau dan memang harus mau, selanjutnya akan mudah.
Konflik
terbesar bukanlah dengan orang lain melainkan dengan diri kita sendiri. Sudah
menjadi hukum alam, selama hidup di dunia, benturan kepentingan akan selalu
menyertai langkah kita. Semua terserah kita sendiri, larut dalam kesenangan
yang bukan menjadi hak atau meraih kemenangan dari perang sesungguhnya yang
kita pilih. Bisa???
0 komentar:
Posting Komentar