Kamis, 20 Februari 2014

Ketika Etika Hilang Seketika


Ibarat pasar saja. Begitulah keadaan di zaman sekarang, saat
pemilihan umum akan bergulir dalam jangka waktu yang tidak lama
lagi. Partai-partai menata diri, lebih wangi, lebih kinclong, dan
ehm, lebih glamor. Lihat saja para pemain sinetron yang biasa mewek
di layar kaca, biasanya yang cakep kebagian peran protagonis yang
kemudian bahagia di akhir cerita, tiba-tiba fasih berbicara tentang
kemakmuran rakyat. Eh, penyanyi dangdut tanggung, yang nyaris tidak
pernah punya hits, tiba-tiba maju menjadi calon wakil bupati. Begitu
juga pemain sinetron yang berwajah tampan, selalu menjadi tokoh
utama, maju pula menjadi calon legislatif.

Alhasil, partai yang semula adem ayem mendadak riuh. Mereka, para
politisi kader yang merangkak dari bawah, tiba-tiba kecewa karena
posisi mereka didepak dengan kehadiran politisi wangi bau kencur itu.

Siapa yang salah? Ah, politik sih di mana-mana selalu begitu. Coba
telaah arti dari politik itu sendiri, yang berarti jalan untuk
mencapai sesuatu yang dicita-citakan.
Nah, partai politik dimanapun,
haruslah memiliki cita-cita menjadi partai penguasa. Kalau bukan itu
yang menjadi cita-cita mereka, yah, mendingan bubar jalan dan
membentuk arisan saja.

Hanya saja, masalahnya bagaimanakah soal menenggang pengorbanan,
perjuangan, dan juga kerja keras yang sudah dilakukan para pekerja
partai tersebut.
Kesalahan memang tak melulu harus ditimpakan kepada
para artis yang dituding menyerobot lahan para kader. Yang mengajak
mereka juga perlu dipertanyakan. Kok ujug-ujug orang luar yang
didahulukan, bukannya dari kader yang diutamakan. Pada akhirnya, ini
menjadi persoalan etika alias menakar kepatutan. Gara-gara itu pula,
etika pun hilang seketika.

Lihat juga yang terjadi berikutnya. Aktivis partai yang semula
berkoar-koar tentang kehebatan platform dan perjuangan partai tiba-
tiba saja wuzzzz, pindah kantor, ganti jas seragam, dan juga
berganti ideologi. Tak ada yang salah. Namun, isme atau ideologi
bukan baju atau ponsel yang ketika kita sudah bosan bisa diganti
semaunya. Ada ukurannya, dan yang paling gampang membaca mereka,
para konstituennya. Akuntabilitas politiklah yang seharusnya
dikedepankan. Janji mereka di awal kepada konstituen, seharusnya
menjadi acuan dalam bertindak dan bersikap.

Halah, kenapa jadi bicara politik? Basi banget. Sekarang, mari kita
bicara dalam konteks pekerjaan misalnya. Dalam kasus yang berbeda,
toh lompat pagar, bukan semata milik kaum politisi saja.
Para
karyawan suatu perusahaan pun dapat melakukan hal yang sama.
Karyawan, karena satu dan lain hal, pindah kerja ke perusahaan lain,
yang kadang merupakan perusahaan pesaing sebelumnya dimana ia
bekerja. Apakah hal itu dapat dibenarkan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita harus mengetahui
dulu, mengapa para karyawan tersebut pindah kerja. Marcus Buckingham
dan Curt Hoffman, penulis buku First Break All the Rules mengatakan,
bahwa para pekerja sesungguhnya meninggalkan manajer atau direktur,
bukan perusahaannya.
Dengan alasan apapun juga, para manajer dan
direktur adalah alasan orang bertahan dan berkembang dalam suatu
organisasi.

Tapi pertanyaan berikutnya, apakah pindah ke perusahaan pesaing
dapat dibenarkan? Walaupun para atasan mereka sebelumnya dijadikan
alasan mengapa mereka berhenti, secara etika, hal itu tidak
dibenarkan. Mengapa? Tentu saja para karyawan yang pindah tersebut
membawa rahasia perusahaan, pengetahuan, pengalaman, dan relasi
mereka ke perusahaan pesaing mereka. Seandainya mereka pindah ke
perusahaan dengan posisi dan usaha yang berbeda, sangat mungkin
tidak menjadi masalah.

Jadi sekali lagi, masalah etikalah yang menjadi pokok persoalan
disini. Oleh karena itu, etika menjadi bagian yang penting bagi
setiap individu, terutama mereka para karyawan yang bekerja di
perusahaan. Untuk mengatur etika para karyawannya, termasuk para
petinggi mereka, pihak perusahaan menerbitkan kode etik atau biasa
kita kenal sebagai code of conduct.
Hal yang sama juga berlaku di
partai politik, lembaga pemerintahan, organisasi, termasuk asosiasi
profesi sekalipun.

Bicara etika, sesungguhnya bukan bicara soal 'boleh' atau 'tidak
boleh'. Karena soal 'boleh' atau 'tidak boleh', hal itu sudah diatur
dalam peraturan. Bila Anda melanggar, Anda akan dikenakan sanksi.
Tetapi bila bicara etika, maka kita bicara 'patut' atau 'tidak
patut', 'pantas' atau 'tidak pantas'. Dalam hal ini, etika lebih
tinggi dari peraturan.

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita bersinggungan dengan
etika, walau kadang tidak menyadarinya. Misalnya saja, ketika kita
berulang tahun dan berencana mengajak rekan kerja untuk makan
bersama, ternyata pada saat yang bersamaan, sseorang rekan mengalami
musibah kematian, ada keluarganya yang meninggal. Tentu saja dalam
konteks ini, merayakan ulang tahun dengan makan bersama menjadi
tidak tepat lagi. Akan lebih elok, bila uang yang tadinya
direncanakan digunakan untuk mentraktir, diberikan kepada sang teman
yang mengalami musibah tersebut untuk sedikit meringankan beban.

Atau dalam suatu forum, ketika pada waktunya Anda mendengarkan, Anda
malah keluar karena menerima panggilan telepon. Bisa juga dalam
suatu jamuan makan bersama, karena sudah tak tahan, Anda malah
bersendawa.

Dalam lain kesempatan, ketika Anda sedang makan enak, datanglah
pengemis yang kelaparan. Tak ada aturan dalam pasal manapun di
undang-undang yang mengharuskan Anda menolongnya. Anda berhak untuk
meninggalkan dan mengacuhkannya. Kualitas perilaku Anda, jelas
ditentukan oleh bagaimana Anda bersikap dalam menghadapi kenyataan
tersebut.

Pada akhirnya, derajat kemanusiaan seseorang akan terlihat dari
perilakunya dalam menjaga etika, lebih dari sekedar menaati aturan.

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar