Jumat, 21 Februari 2014

Memaafkan


“Maaf” adalah sebuah kata yang sangat pendek namun memiliki makna sangat dalam. Apabila memafkan bukan hal sulit, pasti tidak akan ada cerita “Malin Kundang” dan lagu “Camelia 3” yang dipopulerkan Ebiet G. Ade di tahun 1980-an. Apabila si ibu memaafkan Malin Kundang anaknya, tentu dia tidak akan dikutuk menjadi batu. Demikian halnya tak aka nada bait-bait rasa bersalah dan penyesalan yang ditumpahkan Ebiet G. Ade dalam lagunya yang berjudul “Camelia 3”.
                Kata “maaf” bukanlah sesuatu yang mudah untuk diucapkan dan dilakukan. Intinya, memafkan adalah proses lanjutan dari sebuah peristiwa yang menyakitkan atau melukai hati satu pihak oleh pihak lain. Hati yang terluka sulit sekali dicari obatnya. Sebaliknya, orang yang kesalahannya tak termaafkan, sepanjang hidup akan mengalami kegelisahan yang akan mengganggu pikiran dan jiwanya. Oleh karena itu, tak seorang pun ingin mengalami hal tersebut. Akan tetapi, dalam hidup ini kita berada pada posisi yang memiliki hak untuk memberi maaf kepada orang lain. Sebaliknya, sekecil apa pun persoalannya, kita pasti pernah berada pada posisi bersalah. Tentu kita tidak ingin perasaan bersalah itu nterus mendekam dalam hati sebab sungguh sangat tidak menyenangkan. Meminta maaf memang mudah, tetapi memberi maaf jauh lebih sulit dari yang dibayangkan. Masalahnya, bagaimana kita bisa memaafkan seseorang bila hati kita sudah sedemikian sakit atau malah terlanjur remuk?
                Mari sejenak kita buka lembaran sejarah untuk menemukan jawabnya. Anda tahu Nelson Mandela? Lengkapnya, Nelson Rolihlahla Mandela, mantan presiden Afrika Selatan. Mandela adalah orang yang terkenal dengan kerendahan dan kelapangan hatinya. Bayangkan, akibat aktivitas politiknya, dia pernah mendekam dalam tahanan  selama 27 tahun. Perjalanan hidup yang tidak menyenangkan dalam waktu yang cukup lama. Bayangkan, teman-temannya bisa berkumpul dengan pasangannya, membesarkan anak-anak mereka, sementara sepanjang hari Mandela hanya berada di balik jeruji besi.
                Pada saat berkuasa menjadi presiden tahun 1994, Mandela tidak menggunakan kekuasaannya untuk membalas dendam. Ia justru memaafkan semua lawan politiknya. Hal tersebut tertuang dalam kata-katanya, “No one is born hating another person because of the colour of his skin, or his religion.” Manusia seperti Nelson          Mandela adalah satu contoh orang yang sikapnya dapat memberikan inspirasi betapa agungnya seseorang dengan kerendahan hati memberikan maaf kepada orang-orang yang telah membuat hidupnya tersiksa dan menderita. Toh, kalupun berpikir dosa, itu menjadi urusan manusia dengan Tuhannya.
                Sebenarnya, memberikan maaf kepada orang lain bukan saja meringankan langkah dan hidup orang yang kita maafkan, melainkan juga berdampak pada si pemberi maaf. Anda tidak percaya? Dalam buku “Forgive for Good” atau dalam bahasa Indonesianya “Memaafkan demi kebaikan”, yang ditulis oleh Dr. Frederic Luskin, dijelaskan bahwa orang-orang yang memiliki sikap pemaaf sudah jelas memiliki kesehatan yang lebih dan hidupnya di jamin akan bahagia. Lho, kok bisa? Saat memberikan maaf, tanpa disadari perasaan tenang merayap dalam tubuh. Ada penaklukan terhadap kekesalan yang ada. Dengan begitu, semua sikap buruk akan lenyap. Kemarahan telah padam dengan kesabaran yang dimiliki. Tentu hal ini akan sangat menguntungkan. Menurut Luskin, kemarahan yang dipelihara menyebabkan dampak ragawi yang membahayakan. Lihat saja sekeliling Anda! Orang yang cepat marah dan menyimpan kemarahan sudah pasti tidak pernah memaki make up dengan baik. Semahal apa pun kosmetik yang dipakainya tak akan mampu mengusir kerutan di kulitnya. Jadi, dari sekarang mulailah menyetel emosi dalam tahap yang terkendali sehingga nantinya tidak meledak-ledak dan ujung-ujungnya bisa “membakar” tubuh. Orang pemarah jelas tak mudah punya stok welas, maaf yang bertumpuk. Ngeri, ya? Pasti.
                Sebuah artikel yang dirilis Harvard Women’s Health Watch tahun 2005 menyatakan bahwa memaafkan seseorang yang melukai Anda bisa membuat keadaan mental dan fisik menjadi lebih baik. Ternyata memaafkan memiliki banyak kejutan tak terduga, dan sangat mungkin memberi maaf akan jauh lebih bermanfaat bagi Anda dibandingakn bagi orang yang Anda maafkan. Sekaranglah saatnya untuk lebih legowo memaafkan seseorang. Tak mudah memang, tetapi keuntungannya banyak, antara lain:
1.       Mengusir Stres
Dalam sebuah adegan sinetron yang ditayangkan di televise nasional, ada satu dialog yang berhikmah, “Memangnya kalau aku balas membunuhnya, kekasihku akan hidup lagi?” Hikmah yang dapat dipetik sederhana saja, tak perlu mendendam. Ada penelitian soal itu. Orang yang menyimpan dendam secara berlarut-larut bisa membuat ketegangan atau tekanan yang dapat menyebabkan stres. Kalau ini yang terjadi, gawat deh, otot-otot menjadi tegang, tekanan darah meningkat, dan keringat mengucur deras seperti air terjun.
2.       Jantung menjadi sehat
Sebuah penelitian menemukan hasil yang sepertinya tak berhubungan. Ternyata orang yang memaafkan mendapatkan tekanan darah dan detak jantung yang bagus. Nah, semakin sering memaafkan, semakin bertambah baik juga fungsi kerja jantung.
3.       Lebih mesra
Saat bertengkar dengan pasangan, apa yang Anda lakukan? Membanting piring? Wduh, itu sih waktu zamannya piring masih murah. Sayang sekali bila kebiasaan itu masih berlanjut hingga sekarang. Mendingan segera cari jalan keluar dan berakhir dengan kata maaf yang tulus. Sebuah studi di tahun 2004 menunjukkan bahwa wanita yang selalu memaafkan dan bermurah hati terhadap pasangannya akan lebih mudah menyelesaikan konflik. Dengan seorang wanita yang pemaaf dan sabar, hubungan bisa terjalin lebih tahan lama, lebih mesra, dan ehm, lebih romantic J
4.       Mengurangi rasa sakit
Penyakit punggung kronis ternyata berhubungan dengan kemarahan. Orang yang bisa mengendalikan kemarahannya, niscaya bisa menghilangkan rasa sakit dan rasa tegang. Meditasi pengendalian amarah yang dilakukan membuat tubuh menjadi rileks. Nah, kalau marah-marah terus, otot juga menyusut dan tegang. Itu yang membuat punggung terasa sakit.
5.       Lebih Bahagia
Di mana pun, orang yang memberi lebih tinggi derajatnya dibandingkan orang yang menerima. Demikian pula halnya dengan memaafkan. Meski uang di rekening bank sudah susut, pada saat memberi maaf tiba-tiba saja Anda merasa menjadi orang yang paling berbahagia. Survei menunjukkan bahwa orang yang membicarakan maaf-memaafkan selama sesi psikoterapi lebih menghasilkan perasaan bahagia dibanding mereka yang tidak.
”Maaf”, pada akhirnya, memang hanya sebuah kata, tetapi beribu makna. Orang yang pemaaf adalah mereka yang paling memahami maknanya.

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar