“Maaf” adalah sebuah kata yang sangat pendek namun memiliki
makna sangat dalam. Apabila memafkan bukan hal sulit, pasti tidak akan ada
cerita “Malin Kundang” dan lagu “Camelia 3” yang dipopulerkan Ebiet G. Ade di
tahun 1980-an. Apabila si ibu
memaafkan Malin Kundang anaknya, tentu dia tidak akan dikutuk menjadi batu. Demikian
halnya tak aka nada bait-bait rasa bersalah dan penyesalan yang ditumpahkan
Ebiet G. Ade dalam lagunya yang berjudul “Camelia 3”.
Kata “maaf” bukanlah sesuatu
yang mudah untuk diucapkan dan dilakukan. Intinya, memafkan adalah proses
lanjutan dari sebuah peristiwa yang menyakitkan atau melukai hati satu pihak
oleh pihak lain. Hati yang terluka sulit sekali dicari obatnya. Sebaliknya,
orang yang kesalahannya tak termaafkan, sepanjang hidup akan mengalami
kegelisahan yang akan mengganggu pikiran dan jiwanya. Oleh karena itu, tak
seorang pun ingin mengalami hal tersebut. Akan tetapi, dalam hidup ini kita
berada pada posisi yang memiliki hak untuk memberi maaf kepada orang lain. Sebaliknya, sekecil apa pun persoalannya,
kita pasti pernah berada pada posisi bersalah. Tentu kita tidak ingin perasaan
bersalah itu nterus mendekam dalam hati sebab sungguh sangat tidak
menyenangkan. Meminta maaf memang mudah, tetapi memberi maaf jauh lebih sulit
dari yang dibayangkan. Masalahnya, bagaimana kita bisa memaafkan seseorang bila
hati kita sudah sedemikian sakit atau malah terlanjur remuk?
Mari sejenak kita buka lembaran
sejarah untuk menemukan jawabnya. Anda tahu Nelson Mandela? Lengkapnya, Nelson
Rolihlahla Mandela, mantan presiden Afrika Selatan. Mandela adalah orang yang terkenal dengan
kerendahan dan kelapangan hatinya. Bayangkan, akibat aktivitas politiknya, dia
pernah mendekam dalam tahanan selama 27
tahun. Perjalanan hidup yang tidak menyenangkan dalam waktu yang cukup lama. Bayangkan,
teman-temannya bisa berkumpul dengan pasangannya, membesarkan anak-anak mereka,
sementara sepanjang hari Mandela hanya berada di balik jeruji besi.
Pada saat berkuasa menjadi presiden
tahun 1994, Mandela tidak menggunakan kekuasaannya untuk membalas dendam. Ia
justru memaafkan semua lawan politiknya. Hal tersebut tertuang dalam
kata-katanya, “No one is born hating another person because of the colour of
his skin, or his religion.” Manusia seperti Nelson Mandela adalah satu contoh orang yang sikapnya dapat
memberikan inspirasi betapa agungnya seseorang dengan kerendahan hati
memberikan maaf kepada orang-orang yang telah membuat hidupnya tersiksa dan
menderita. Toh, kalupun berpikir dosa, itu menjadi urusan manusia dengan
Tuhannya.
Sebenarnya,
memberikan maaf kepada orang lain bukan saja meringankan langkah dan hidup
orang yang kita maafkan, melainkan juga berdampak pada si pemberi maaf. Anda
tidak percaya? Dalam buku “Forgive for Good” atau dalam bahasa Indonesianya
“Memaafkan demi kebaikan”, yang ditulis oleh Dr. Frederic Luskin, dijelaskan
bahwa orang-orang yang memiliki sikap pemaaf sudah jelas memiliki kesehatan
yang lebih dan hidupnya di jamin akan bahagia. Lho, kok bisa? Saat memberikan
maaf, tanpa disadari perasaan tenang merayap dalam tubuh. Ada penaklukan terhadap kekesalan yang ada.
Dengan begitu, semua sikap buruk akan lenyap. Kemarahan telah padam dengan
kesabaran yang dimiliki. Tentu hal ini akan sangat menguntungkan. Menurut
Luskin, kemarahan yang dipelihara menyebabkan dampak ragawi yang membahayakan.
Lihat saja sekeliling Anda! Orang yang cepat marah dan menyimpan kemarahan
sudah pasti tidak pernah memaki make up dengan baik. Semahal apa pun kosmetik
yang dipakainya tak akan mampu mengusir kerutan di kulitnya. Jadi, dari
sekarang mulailah menyetel emosi dalam tahap yang terkendali sehingga nantinya
tidak meledak-ledak dan ujung-ujungnya bisa “membakar” tubuh. Orang pemarah jelas tak mudah punya stok welas,
maaf yang bertumpuk. Ngeri, ya? Pasti.
Sebuah artikel yang dirilis
Harvard Women’s Health Watch tahun 2005 menyatakan bahwa memaafkan seseorang
yang melukai Anda bisa membuat keadaan mental dan fisik menjadi lebih baik. Ternyata
memaafkan memiliki banyak kejutan tak terduga, dan sangat mungkin memberi maaf
akan jauh lebih bermanfaat bagi Anda dibandingakn bagi orang yang Anda maafkan.
Sekaranglah saatnya untuk lebih legowo memaafkan seseorang. Tak mudah memang,
tetapi keuntungannya banyak, antara lain:
1.
Mengusir Stres
Dalam sebuah adegan sinetron yang ditayangkan di
televise nasional, ada satu dialog yang berhikmah, “Memangnya kalau aku balas
membunuhnya, kekasihku akan hidup lagi?” Hikmah yang dapat dipetik sederhana saja, tak perlu mendendam. Ada
penelitian soal itu. Orang yang menyimpan dendam secara berlarut-larut bisa
membuat ketegangan atau tekanan yang dapat menyebabkan stres. Kalau ini yang
terjadi, gawat deh, otot-otot menjadi tegang, tekanan darah meningkat, dan
keringat mengucur deras seperti air terjun.
2.
Jantung menjadi sehat
Sebuah
penelitian menemukan hasil yang sepertinya tak berhubungan. Ternyata orang yang
memaafkan mendapatkan tekanan darah dan detak jantung yang bagus. Nah, semakin
sering memaafkan, semakin bertambah baik juga fungsi kerja jantung.
3.
Lebih mesra
Saat
bertengkar dengan pasangan, apa yang Anda lakukan? Membanting piring? Wduh, itu
sih waktu zamannya piring masih murah. Sayang sekali bila kebiasaan itu masih
berlanjut hingga sekarang. Mendingan segera cari jalan keluar dan berakhir
dengan kata maaf yang tulus. Sebuah studi di tahun 2004 menunjukkan bahwa
wanita yang selalu memaafkan dan bermurah hati terhadap pasangannya akan lebih
mudah menyelesaikan konflik. Dengan seorang wanita yang pemaaf dan sabar,
hubungan bisa terjalin lebih tahan lama, lebih mesra, dan ehm, lebih romantic J
4.
Mengurangi rasa sakit
Penyakit
punggung kronis ternyata berhubungan dengan kemarahan. Orang yang bisa
mengendalikan kemarahannya, niscaya bisa menghilangkan rasa sakit dan rasa tegang.
Meditasi pengendalian amarah yang dilakukan membuat tubuh menjadi rileks. Nah, kalau marah-marah terus, otot juga menyusut dan
tegang. Itu yang membuat punggung terasa sakit.
5.
Lebih
Bahagia
Di mana pun,
orang yang memberi lebih tinggi derajatnya dibandingkan orang yang menerima. Demikian
pula halnya dengan memaafkan. Meski uang di rekening bank sudah susut, pada saat
memberi maaf tiba-tiba saja Anda merasa menjadi orang yang paling berbahagia. Survei
menunjukkan bahwa orang yang membicarakan maaf-memaafkan selama sesi
psikoterapi lebih menghasilkan perasaan bahagia dibanding mereka yang tidak.
”Maaf”, pada akhirnya, memang hanya sebuah kata, tetapi beribu makna. Orang
yang pemaaf adalah mereka yang paling memahami maknanya.