Jumat, 21 Februari 2014

Memaafkan


“Maaf” adalah sebuah kata yang sangat pendek namun memiliki makna sangat dalam. Apabila memafkan bukan hal sulit, pasti tidak akan ada cerita “Malin Kundang” dan lagu “Camelia 3” yang dipopulerkan Ebiet G. Ade di tahun 1980-an. Apabila si ibu memaafkan Malin Kundang anaknya, tentu dia tidak akan dikutuk menjadi batu. Demikian halnya tak aka nada bait-bait rasa bersalah dan penyesalan yang ditumpahkan Ebiet G. Ade dalam lagunya yang berjudul “Camelia 3”.
                Kata “maaf” bukanlah sesuatu yang mudah untuk diucapkan dan dilakukan. Intinya, memafkan adalah proses lanjutan dari sebuah peristiwa yang menyakitkan atau melukai hati satu pihak oleh pihak lain. Hati yang terluka sulit sekali dicari obatnya. Sebaliknya, orang yang kesalahannya tak termaafkan, sepanjang hidup akan mengalami kegelisahan yang akan mengganggu pikiran dan jiwanya. Oleh karena itu, tak seorang pun ingin mengalami hal tersebut. Akan tetapi, dalam hidup ini kita berada pada posisi yang memiliki hak untuk memberi maaf kepada orang lain. Sebaliknya, sekecil apa pun persoalannya, kita pasti pernah berada pada posisi bersalah. Tentu kita tidak ingin perasaan bersalah itu nterus mendekam dalam hati sebab sungguh sangat tidak menyenangkan. Meminta maaf memang mudah, tetapi memberi maaf jauh lebih sulit dari yang dibayangkan. Masalahnya, bagaimana kita bisa memaafkan seseorang bila hati kita sudah sedemikian sakit atau malah terlanjur remuk?
                Mari sejenak kita buka lembaran sejarah untuk menemukan jawabnya. Anda tahu Nelson Mandela? Lengkapnya, Nelson Rolihlahla Mandela, mantan presiden Afrika Selatan. Mandela adalah orang yang terkenal dengan kerendahan dan kelapangan hatinya. Bayangkan, akibat aktivitas politiknya, dia pernah mendekam dalam tahanan  selama 27 tahun. Perjalanan hidup yang tidak menyenangkan dalam waktu yang cukup lama. Bayangkan, teman-temannya bisa berkumpul dengan pasangannya, membesarkan anak-anak mereka, sementara sepanjang hari Mandela hanya berada di balik jeruji besi.
                Pada saat berkuasa menjadi presiden tahun 1994, Mandela tidak menggunakan kekuasaannya untuk membalas dendam. Ia justru memaafkan semua lawan politiknya. Hal tersebut tertuang dalam kata-katanya, “No one is born hating another person because of the colour of his skin, or his religion.” Manusia seperti Nelson          Mandela adalah satu contoh orang yang sikapnya dapat memberikan inspirasi betapa agungnya seseorang dengan kerendahan hati memberikan maaf kepada orang-orang yang telah membuat hidupnya tersiksa dan menderita. Toh, kalupun berpikir dosa, itu menjadi urusan manusia dengan Tuhannya.
                Sebenarnya, memberikan maaf kepada orang lain bukan saja meringankan langkah dan hidup orang yang kita maafkan, melainkan juga berdampak pada si pemberi maaf. Anda tidak percaya? Dalam buku “Forgive for Good” atau dalam bahasa Indonesianya “Memaafkan demi kebaikan”, yang ditulis oleh Dr. Frederic Luskin, dijelaskan bahwa orang-orang yang memiliki sikap pemaaf sudah jelas memiliki kesehatan yang lebih dan hidupnya di jamin akan bahagia. Lho, kok bisa? Saat memberikan maaf, tanpa disadari perasaan tenang merayap dalam tubuh. Ada penaklukan terhadap kekesalan yang ada. Dengan begitu, semua sikap buruk akan lenyap. Kemarahan telah padam dengan kesabaran yang dimiliki. Tentu hal ini akan sangat menguntungkan. Menurut Luskin, kemarahan yang dipelihara menyebabkan dampak ragawi yang membahayakan. Lihat saja sekeliling Anda! Orang yang cepat marah dan menyimpan kemarahan sudah pasti tidak pernah memaki make up dengan baik. Semahal apa pun kosmetik yang dipakainya tak akan mampu mengusir kerutan di kulitnya. Jadi, dari sekarang mulailah menyetel emosi dalam tahap yang terkendali sehingga nantinya tidak meledak-ledak dan ujung-ujungnya bisa “membakar” tubuh. Orang pemarah jelas tak mudah punya stok welas, maaf yang bertumpuk. Ngeri, ya? Pasti.
                Sebuah artikel yang dirilis Harvard Women’s Health Watch tahun 2005 menyatakan bahwa memaafkan seseorang yang melukai Anda bisa membuat keadaan mental dan fisik menjadi lebih baik. Ternyata memaafkan memiliki banyak kejutan tak terduga, dan sangat mungkin memberi maaf akan jauh lebih bermanfaat bagi Anda dibandingakn bagi orang yang Anda maafkan. Sekaranglah saatnya untuk lebih legowo memaafkan seseorang. Tak mudah memang, tetapi keuntungannya banyak, antara lain:
1.       Mengusir Stres
Dalam sebuah adegan sinetron yang ditayangkan di televise nasional, ada satu dialog yang berhikmah, “Memangnya kalau aku balas membunuhnya, kekasihku akan hidup lagi?” Hikmah yang dapat dipetik sederhana saja, tak perlu mendendam. Ada penelitian soal itu. Orang yang menyimpan dendam secara berlarut-larut bisa membuat ketegangan atau tekanan yang dapat menyebabkan stres. Kalau ini yang terjadi, gawat deh, otot-otot menjadi tegang, tekanan darah meningkat, dan keringat mengucur deras seperti air terjun.
2.       Jantung menjadi sehat
Sebuah penelitian menemukan hasil yang sepertinya tak berhubungan. Ternyata orang yang memaafkan mendapatkan tekanan darah dan detak jantung yang bagus. Nah, semakin sering memaafkan, semakin bertambah baik juga fungsi kerja jantung.
3.       Lebih mesra
Saat bertengkar dengan pasangan, apa yang Anda lakukan? Membanting piring? Wduh, itu sih waktu zamannya piring masih murah. Sayang sekali bila kebiasaan itu masih berlanjut hingga sekarang. Mendingan segera cari jalan keluar dan berakhir dengan kata maaf yang tulus. Sebuah studi di tahun 2004 menunjukkan bahwa wanita yang selalu memaafkan dan bermurah hati terhadap pasangannya akan lebih mudah menyelesaikan konflik. Dengan seorang wanita yang pemaaf dan sabar, hubungan bisa terjalin lebih tahan lama, lebih mesra, dan ehm, lebih romantic J
4.       Mengurangi rasa sakit
Penyakit punggung kronis ternyata berhubungan dengan kemarahan. Orang yang bisa mengendalikan kemarahannya, niscaya bisa menghilangkan rasa sakit dan rasa tegang. Meditasi pengendalian amarah yang dilakukan membuat tubuh menjadi rileks. Nah, kalau marah-marah terus, otot juga menyusut dan tegang. Itu yang membuat punggung terasa sakit.
5.       Lebih Bahagia
Di mana pun, orang yang memberi lebih tinggi derajatnya dibandingkan orang yang menerima. Demikian pula halnya dengan memaafkan. Meski uang di rekening bank sudah susut, pada saat memberi maaf tiba-tiba saja Anda merasa menjadi orang yang paling berbahagia. Survei menunjukkan bahwa orang yang membicarakan maaf-memaafkan selama sesi psikoterapi lebih menghasilkan perasaan bahagia dibanding mereka yang tidak.
”Maaf”, pada akhirnya, memang hanya sebuah kata, tetapi beribu makna. Orang yang pemaaf adalah mereka yang paling memahami maknanya.

Kamis, 20 Februari 2014

Cinta Pasti Memiliki

 
Sebuah pesan singkat masuk di telepon seluler. Isinya: `Finally,
sir. Kami resmi berpisah. Plonk rasanya.' Si pengirim pesan singkat
itu, Irma, bekerja sebagai General Manager disatu kantor konsultan
di Jakarta. Irma, seorang perempuan yang hampir empat tahun menanti
proses perceraiannya usai. Namun entahlah apa yang terjadi sehingga
proses itu berlarut-larut. Hingga akhirnya, keputusan itu pun turun.
Plonk rasanya, begitu katanya.

Mereka akhirnya memutuskan berpisah. Cerai. Alias dengan surat resmi
yang dicatat dalam sebuah akta, mungkin itu kata yang paling tepat.
Pernikahan yang telah dibina selama hampir sepuluh tahun itu tak
bisa dipertahankan lagi. Apa alasan yang membuat Budi dan Irma
sepakat untuk tidak sepakat lagi dalam membina biduk rumah
tangganya?

Budi dan Irma bukannya tidak sadar akan keputusan yang mereka ambil.
Apalagi mereka masih mempunyai seorang putri yang masih lucu dan
imut. Anak semata wayang mereka yang masih berusia lima tahun,
Desya. Mereka sepenuhnya sadar, tanpa paksaan dari pihak mana pun
untuk berpisah. Tekad mereka sudah bulat, tidak lonjong lagi. Cerai
bagi mereka merupakan pilihan terbaik saat itu.

Perbedaan prinsiplah yang menyebabkan mereka akhirnya memutuskan
untuk bercerai. Kesibukan Irma yang luar biasa dalam pekerjaan
ternyata tidak disetujui oleh Budi, suaminya, yang bekerja di
perusahaan kontraktor asing. Sedangkan Irma tetap bersikukuh bahwa
hal itu merupakan haknya dalam meniti karir yang sedang dijalaninya.
Bukankah sekarang zamannya keterbukaan dan emansipasi, begitu pikir
Irma. Bagi Budi, keluarga tetaplah nomor satu bagi seorang ibu. Apa
boleh buat, tak ada kata sepakat di sini. Walau bukan berarti 'no
big deal'. Tak ada yang bisa mengalah satu sama lain. Selesai sudah
ikatan resmi tali cinta mereka. Satu kisah diresmikan di depan
penghulu sebelumnya. Kini, mereka berdua bukan siapa-siapa lagi.

Lantas setelah semua berlalu, apakah kisah berikutnya yang harus
dilakoni dua insan ini? Tentu ada konsekuensi yang harus mereka
jalani. Nah, siapa lagi kalau bukan Desya, putri semata wayang
mereka. Ikatan resmi tali cinta bolehlah selesai. Namun perjalanan
hidup buah kisah kasih mereka tak boleh terhenti di tengah jalan.
Desya tetap membutuhkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Ia
juga membutuhkan biaya untuk hidup, dan tentu saja, untuk
pendidikannya. Irma dan Budi sepakat untuk berbagi: di akhir pekan
saatnya Desya menghabiskan waktunya bersama sang ayah, setelah
sepekan penuh tinggal bersama ibunya.

Inilah akibat dari sebuah perpisahan. Namun, Irma dan Budi paham
betul akan konsekuensi perpisahan ini. Walau sudah tak berada dalam
satu ikatan lagi, namun mereka memikul tanggung jawab bersama, yakni
kehidupan Desya. Tapi, benarkah cinta Irma dan Budi terhenti hingga
cukup sekian di sini?

Walau sudah bercerai, namun keduanya masih tetap berkomunikasi
dengan baik. Bahkan kini jauh lebih baik. Hubungan mereka seperti
layaknya kakak dan adik. Budi yang sejak awal mengetahui kepandaian
dan kecerdasan Irma, malah mendorong karir mantan istrinya yang pada
awalnya ditentang. Sebaliknya, Irma pun merasa termotivasi. Pesan
dari Budi begitu menancap di kepalanya.

Rupanya inilah wujud cinta baru di antara mereka. Mereka memang
sudah tidak terikat pernikahan, namun cinta sejati yang semestinya
tumbuh saat mereka berkasih mesra, kini malah muncul. Mereka sadar
dapat lebih saling mencintai ketika mereka tidak berada dalam ikatan
pernikahan.

Selama ini selalu dipersepsikan bahwa mencintai seseorang tak harus
memiliki.
Justeru sebaliknya. Cinta pasti memiliki. Memiliki tidak
berarti bahwa Anda harus menikah dengan orang yang Anda cintai.
Memiliki dalam arti suatu pernikahan, itu hanyalah sekedar persoalan
administratif belaka. Dan bila cinta tidak sampai ke pernikahan, tak
berarti cinta itu hilang.

Kalau Anda mencintai seseorang, maka sudah tentu Anda berusaha untuk
memberikan yang terbaik bagi dirinya. Tak ada kata tapi. Tak ada
kata seharusnya begini dan begitu. Utuh tanpa syarat. Makna yang
lebih dalam, bukan hanya materi dan perasaan semata, Anda pun harus
memberikan kepadanya kebebasan. Memberikan kepadanya untuk memilih
pilihan-pilihan yang dikehendakinya. Memberikan kepadanya kesempatan
untuk berkembang sesuai kehendak hati nuraninya.

Atau dengan kata lain, memberikan semua yang terbaik bagi orang yang
dicintainya dan menerima segala kekurangannya. Bila memberi yang
kita miliki, jangan harap kembali, karena bisa jadi hilang untuk
selamanya. Bunda Teresa pernah mengatakan, mencintai secara sejati
adalah mencintai hingga terluka. Sekali memberi diri, cinta harus
tuntas tanpa kembali. Karena setiap kali cinta diberikan, ada
onggokan hati yang ikut tergali dari pemberi cinta.

Mencintai seseorang memang harus sepenuh hati. Tetapi patut diingat,
hal itu tidak musti berlaku sebaliknya. Suatu anugerah bila cinta
yang kita berikan kepada orang lain, terjadi timbal balik dari orang
yang juga dicintai. Tetapi kenyataannya, tidaklah selalu demikian.
Tapi sekali lagi, bukan berarti bahwa cinta itu harus pergi.

Satu contoh cinta sejati yang tak perlu diperdebatkan lagi, adalah
cinta orangtua kepada anaknya. Orangtua manapun, pasti akan
memberikan yang terbaik bagi anaknya. Hal yang tak bisa ditawar-
tawar lagi. Dibalik rasa kekawatiran mereka terhadap sang anak, bagi
orangtua yang bijak, mereka tetap menyerahkan sepenuhnya kebebasan
hidup bagi anaknya. Memberikan kebebasan bagi sang anak untuk
memilih pekerjaan yang cocok, karir yang dijalankan, dan tentu saja
pasangan hidup yang diinginkan. Orangtua tentu tak akan mengekang
keinginan-keinginan tersebut. Mengapa? Karena rasa cintanya yang
besar kepada sang anak. Cinta yang memiliki. Bahkan ketika sang anak
telah berumah tangga.

Cinta, pada akhirnya, memang hanya sebuah kata, tetapi beribu makna.
Orang yang memberikan cintanya secara utuh adalah mereka yang paling
memahami makna cinta.

Ketika Etika Hilang Seketika


Ibarat pasar saja. Begitulah keadaan di zaman sekarang, saat
pemilihan umum akan bergulir dalam jangka waktu yang tidak lama
lagi. Partai-partai menata diri, lebih wangi, lebih kinclong, dan
ehm, lebih glamor. Lihat saja para pemain sinetron yang biasa mewek
di layar kaca, biasanya yang cakep kebagian peran protagonis yang
kemudian bahagia di akhir cerita, tiba-tiba fasih berbicara tentang
kemakmuran rakyat. Eh, penyanyi dangdut tanggung, yang nyaris tidak
pernah punya hits, tiba-tiba maju menjadi calon wakil bupati. Begitu
juga pemain sinetron yang berwajah tampan, selalu menjadi tokoh
utama, maju pula menjadi calon legislatif.

Alhasil, partai yang semula adem ayem mendadak riuh. Mereka, para
politisi kader yang merangkak dari bawah, tiba-tiba kecewa karena
posisi mereka didepak dengan kehadiran politisi wangi bau kencur itu.

Siapa yang salah? Ah, politik sih di mana-mana selalu begitu. Coba
telaah arti dari politik itu sendiri, yang berarti jalan untuk
mencapai sesuatu yang dicita-citakan.
Nah, partai politik dimanapun,
haruslah memiliki cita-cita menjadi partai penguasa. Kalau bukan itu
yang menjadi cita-cita mereka, yah, mendingan bubar jalan dan
membentuk arisan saja.

Hanya saja, masalahnya bagaimanakah soal menenggang pengorbanan,
perjuangan, dan juga kerja keras yang sudah dilakukan para pekerja
partai tersebut.
Kesalahan memang tak melulu harus ditimpakan kepada
para artis yang dituding menyerobot lahan para kader. Yang mengajak
mereka juga perlu dipertanyakan. Kok ujug-ujug orang luar yang
didahulukan, bukannya dari kader yang diutamakan. Pada akhirnya, ini
menjadi persoalan etika alias menakar kepatutan. Gara-gara itu pula,
etika pun hilang seketika.

Lihat juga yang terjadi berikutnya. Aktivis partai yang semula
berkoar-koar tentang kehebatan platform dan perjuangan partai tiba-
tiba saja wuzzzz, pindah kantor, ganti jas seragam, dan juga
berganti ideologi. Tak ada yang salah. Namun, isme atau ideologi
bukan baju atau ponsel yang ketika kita sudah bosan bisa diganti
semaunya. Ada ukurannya, dan yang paling gampang membaca mereka,
para konstituennya. Akuntabilitas politiklah yang seharusnya
dikedepankan. Janji mereka di awal kepada konstituen, seharusnya
menjadi acuan dalam bertindak dan bersikap.

Halah, kenapa jadi bicara politik? Basi banget. Sekarang, mari kita
bicara dalam konteks pekerjaan misalnya. Dalam kasus yang berbeda,
toh lompat pagar, bukan semata milik kaum politisi saja.
Para
karyawan suatu perusahaan pun dapat melakukan hal yang sama.
Karyawan, karena satu dan lain hal, pindah kerja ke perusahaan lain,
yang kadang merupakan perusahaan pesaing sebelumnya dimana ia
bekerja. Apakah hal itu dapat dibenarkan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita harus mengetahui
dulu, mengapa para karyawan tersebut pindah kerja. Marcus Buckingham
dan Curt Hoffman, penulis buku First Break All the Rules mengatakan,
bahwa para pekerja sesungguhnya meninggalkan manajer atau direktur,
bukan perusahaannya.
Dengan alasan apapun juga, para manajer dan
direktur adalah alasan orang bertahan dan berkembang dalam suatu
organisasi.

Tapi pertanyaan berikutnya, apakah pindah ke perusahaan pesaing
dapat dibenarkan? Walaupun para atasan mereka sebelumnya dijadikan
alasan mengapa mereka berhenti, secara etika, hal itu tidak
dibenarkan. Mengapa? Tentu saja para karyawan yang pindah tersebut
membawa rahasia perusahaan, pengetahuan, pengalaman, dan relasi
mereka ke perusahaan pesaing mereka. Seandainya mereka pindah ke
perusahaan dengan posisi dan usaha yang berbeda, sangat mungkin
tidak menjadi masalah.

Jadi sekali lagi, masalah etikalah yang menjadi pokok persoalan
disini. Oleh karena itu, etika menjadi bagian yang penting bagi
setiap individu, terutama mereka para karyawan yang bekerja di
perusahaan. Untuk mengatur etika para karyawannya, termasuk para
petinggi mereka, pihak perusahaan menerbitkan kode etik atau biasa
kita kenal sebagai code of conduct.
Hal yang sama juga berlaku di
partai politik, lembaga pemerintahan, organisasi, termasuk asosiasi
profesi sekalipun.

Bicara etika, sesungguhnya bukan bicara soal 'boleh' atau 'tidak
boleh'. Karena soal 'boleh' atau 'tidak boleh', hal itu sudah diatur
dalam peraturan. Bila Anda melanggar, Anda akan dikenakan sanksi.
Tetapi bila bicara etika, maka kita bicara 'patut' atau 'tidak
patut', 'pantas' atau 'tidak pantas'. Dalam hal ini, etika lebih
tinggi dari peraturan.

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita bersinggungan dengan
etika, walau kadang tidak menyadarinya. Misalnya saja, ketika kita
berulang tahun dan berencana mengajak rekan kerja untuk makan
bersama, ternyata pada saat yang bersamaan, sseorang rekan mengalami
musibah kematian, ada keluarganya yang meninggal. Tentu saja dalam
konteks ini, merayakan ulang tahun dengan makan bersama menjadi
tidak tepat lagi. Akan lebih elok, bila uang yang tadinya
direncanakan digunakan untuk mentraktir, diberikan kepada sang teman
yang mengalami musibah tersebut untuk sedikit meringankan beban.

Atau dalam suatu forum, ketika pada waktunya Anda mendengarkan, Anda
malah keluar karena menerima panggilan telepon. Bisa juga dalam
suatu jamuan makan bersama, karena sudah tak tahan, Anda malah
bersendawa.

Dalam lain kesempatan, ketika Anda sedang makan enak, datanglah
pengemis yang kelaparan. Tak ada aturan dalam pasal manapun di
undang-undang yang mengharuskan Anda menolongnya. Anda berhak untuk
meninggalkan dan mengacuhkannya. Kualitas perilaku Anda, jelas
ditentukan oleh bagaimana Anda bersikap dalam menghadapi kenyataan
tersebut.

Pada akhirnya, derajat kemanusiaan seseorang akan terlihat dari
perilakunya dalam menjaga etika, lebih dari sekedar menaati aturan.

Ketika Kacang Lupa pada Kulitnya


Sekarang mari kita bicara soal kacang. Pernah merasakan es cincau dan es susu kacang sekaligus? Bila keduanya dicampur, bagaimana rasanya? Sudah jelas rasanya berubah. Rasanya tak beda dengan minum beraroma kola dicampur kopi tubruk. Pertempuran dalam mulut yang sama-sama kuat dan berakhir dengan musnahnya kedua rasa. Itu pengalaman seorang penggemar kuliner yang sempat merasakan dahsyatnya minuman yang dijual di sebuah kedai di Singapura. Setelah sempat kaget dengan rasa baru, eh, dia pun terkejut dengan nama minuman tersebut. Namanya, Es Michael Jackson. Lo, apa hubungannya? Jangan-jangan, Jaka Sembung naik ojek, gak nyambung jek.

Tidak juga ternyata. Es Michael Jackson, mungkin aneh kedengarannya, tapi begitulah faktanya.
Ia pun mencoba mencari tahu asal-usul nama es tersebut. Ia pun mereka-reka, pikirnya, hal itu diberikan untuk menyindir Michael Jackson yang aslinya hitam, tetapi kepingin menjadi putih dan malahan menjadi mirip topeng daripada manusia. Ketahuan sekarang rasanya susah dibedakan, bukan susu kacang, bukan juga es cincau.

Michael Joseph Jackson adalah legenda penyanyi dari Amerika Serikat. King of Pop, dulu sebutannya begitu, dengan gerakan dansa ‘moonwalk’ yang telah menjadi ciri khasnya. Sayang, dibalik gemerlap kesuksesannya di panggung hiburan, seperti membuatnya kurang percaya diri. Ketenaran dan uang yang berlimpah di usia muda, membuat Jacko, begitu panggilan akrabnya, bisa melakukan apa saja, termasuk melakukan operasi kulit dan wajahnya. Dimulai dengan mengubah bentuk hidungnya yang tidak mancung, Jacko pun mulai ketagihan operasi di wajah dan kulitnya plus pemutihan kulit, yang telah dilakukannya sejak umur duapuluhan. Khalayak luas menganggap Jacko telah melupakan asal-usulnya sebagai ras orang kulit hitam. Jacko dinilai tidak puas atas apa yang telah dianugerahi kepadanya. Kacang lupa pada kulitnya. Persis seperti minuman yang dijual di Singapura, tak jelas lagi perbedaan antara hitam atau putih. Tapi Jacko punya dalih. Katanya, ia mempunyai kelainan pigmen atau memutihnya kulit. Sarung tangan yang menutupi tangan kanannya, katanya untuk menutupi pigmen asing yang mulai menjalar dari sana. Ah, mau berbual apa pun, tetap saja tudingan itu sudah melekat padanya.
Kacang lupa pada kulitnya.

Fenomena ini tidak melulu milik Jacko. Di Tanah Air bejibun contohnya. Para politisi adalah contoh yang paling pas dengan sebutan itu. Di masa kampanye, mereka ngerocos janji ini-itu. Tetapi setelah duduk nyaman di kursi yang diincarnya, eh, dia malah lupa akan janjinya. Janji pada rakyat yang menjadi konstituennya. Lagi-lagi hanya pemeo kacang lupa pada kulitnya diselempangkan pada mereka. Pemeo ini sungguh luar biasa. Para leluhur kita yang membuat sebaris kalimat ini sangat terampil dalam menggunakan kata-katanya. Kacang lupa pada kulitnya, sebuah perumpamaan yang sangat luar biasa. Sebiji kacang bisa melupakan asal usulnya. Pedas, mengena, dan juga menohok. Pepatah tersebut memberikan pesan moral yang sangat mendalam. Bahwa manusia sebagai sebuah individu yang mempunyai kelebihan atas anugerah yang telah diberikan, namun tetap saja membutuhkan bantuan, uluran tangan, dan pertolongan dari orang disekitarnya.

Saat kacang perlahan tumbuh, yang berawal dari biji, dengan perlindungan dari kulit, maka sang kacang terlindung dari cuaca, embusan angin, dan gangguan lainnya. Karena sang kacang begitu baik terlindung. Tetapi saat kacang berada di meja, ia tak lagi berteman dengan kulitnya, bahkan mencari kulit baru. Ketika kacang dimakan dan dinikmati, sang kulit pun dibuang ke tempat sampah. Saat kesuksesan telah diraih, saat puncak kekuasaan dalam genggaman, saat kehidupan telah membaik, mereka pun kemudian melupakan segala sesuatu yang telah membuat mereka menjadi seperti itu. Seperti kacang yang lupa akan kulitnya. Dalam kehidupan sehari-hari, kata-kata itu akrab di telinga kita. Untuk seorang kawan lama yang sudah tak punya waktu lagi untuk bertemu atau beranjang sana saja, pemeo itu pun dilekatkan padanya. Bagi yang disentil dengan kata-kata itu, sangat terasa menyakitkan di kuping. Jangan pernah sekali-kali meremehkan pentingnya komunikasi dengan kawan lama. Ketika kesuksesan telah menghampiri Anda, jangan lupakan orang-orang di sekitar Anda, atau orang-orang yang telah membesarkan Anda. Bila Anda terus melakukan komunikasi dengan kawan lama Anda, percayalah, bila suatu saat Anda mengalami kesulitan atau kesusahan, maka kawan lama Anda, minimal, akan memberikan perhatian kepada Anda. Syukur-syukur ia akan membantu persoalan yang Anda hadapi.

Lantas bagaimana agar kita tidak seperti kacang yang lupa akan kulitnya? Beberapa saran berikut bisa Anda renungi dan lakukan.

1. Jangan pernah melupakan jasa orang lain
Saya yakin, Anda pasti pernah dibantu oleh orang lain, walau sekecil apa pun.
Tapi apa balas budi Anda terhadap orang yang membantu Anda? Minimal tentu Anda mengucapkan terima kasih. Anda mungkin saja tidak sanggup membayar atau mengganti secara materi terhadap bantuan yang diberikan kepada Anda. Untuk tidak melupakannya, Anda dapat melakukan komunikasi secara berkala atau sewaktu-waktu kepada orang yang telah membantu Anda tersebut.

2. Jangan lupa ketika sukses
Jika Anda berada di puncak keberhasilan, jangan lupa dengan sekeliling Anda. Karena mereka semua, Anda berhasil dan sukses. Bagaimana caranya? Anda bisa mengajaknya makan siang bersama, misalnya.

3. Luangkan waktu untuk berkomunikasi
Anda bisa juga meluangkan waktu untuk menelepon, atau sekadar mengirim sms kepada teman-teman lama Anda. Anda dapat juga mengirim kartu ucapan Selamat Hari Raya di saat Hari Raya, misalnya.

4. Melakukan Kunjungan
Berkunjung ke kantor atau ke rumah teman, sahabat, kolega atau pun kawan lama Anda sesekali waktu, bahkan dengan surprise tanpa pemberitahuan, bisa jadi suatu hal yang sangat mulia.

Percaya pada Kemampuan Diri Sendiri

Sewaktu masih kecil, mungkin Anda pernah mendengar kisah adaptasi berjudul ”The Little Engine That Coukd”? Buku itu bercerita tentang kereta api yang bergerak menuju bukit dengan perlahan dan tersendat-sendat. Lokomotifnya berkata kepada dirinya sendiri, ”Aku bisa, aku bisa, aku bisa.” Kereta pun terus bergerak naik perlahan hingga tiba di atas bukit dengan selamat.
                Pelajaran sederhana yang dapat diberikan dalam cerita tersebut ialah: percayalah pada kemampuan diri sendiri. Jika seandainya lokomotif itu tidak percaya akan kemampuannya tiba di atas bukit, bisa jadi kisah dalam buku itu akan berakhir dengan menyedihkan.
                Bukan hanya lokomotif itu yang dapat mengatakan ”Aku bisa, akau bisa, aku bisa”, Anda pun dapat melakukan hal yang sama. William Arthur Ward, seorang penulis kondang asal Amerika mengatakan, ”Saya adalah pemenang karena saya berpikir seperti pemenang, bersiap jadi pemenang, dan bekerja serupa pemenang.” Ward betul, jika Anda berpikir sebagai seorang pemenang, memang benar Anda seorang pemenang.
                Kisah heroik sang lokomotif itu dalam dunia nyata dibuktikan sendiri oleh Hendrawan, atlet bulutangkis Indonesia. Tahun 1997 Hendrawan sudah dinyatakan ”habis” oleh PBSI. Karena faktor usia dan prestasinya yang terus menurun, PBSI bermaksud mengeluarkan Hendrawan dari tim Pelatnas. Akan tetapi, Hendrawan punya keyakinan sendiri bahwa ia percaya akan kemampuannya dan belumlah habis. Hendrawan masih percaya bahwa ia dapat meraih prestasi yang lebih baik lagi. Dengan keyakinan dan kepercayaan diri yang tinggi dan tentu saja diiringi kerja keras yang tidak mengenal lelah, Hendrawan menunjukkan kepada dunia bahwa ia memang mampu meraih prestasi yang luar biasa.
                Hendrawan pun membuktikan kemampuannya setelah sempat dinyatakan habis. Tahun 1998 Hendrawan menjadi penentu kemenangan Tim Thomas Indonesia. Pada tahun itu juga ia menjuarai Singapura Terbuka. Kemudian, di tahun 2000 Hendrawan kembali menjadi penentu kemenangan Tim Thomas Indonesia. Di tahun itu pula ia mengukir namanya dengan meraih medali perak dalam Olympiade Sydney. Msih di tahun yang sama, ia menjadi runner up Jepang Terbuka. Dan, pada tahun 2001 ia menjadi Juara Dunia Tunggal Putra, sebuah gelar yang menjadi idaman pebulutangkis mana pun di dunia. Pada tahun 2002 ia kembali membawa Indonesia mempertahankan Piala Thomas ke Tanah Air.
                Percaya akan kemampuan diri sendiri tak harus ditunjukkan oleh mereka yang berprofesi sebagai atlet, yang bekerja di kantoran, yang mempunyai stamina fisik prima, atau mereka yang masih muda dan memiliki semangat menggebu-gebu. Percaya pada diri sendiri dan pada kemampuan dapat ditunjukkan oleh siapa pun, tanpa mengenal umur, pekerjaan, status, dan jenis kelamin sekalipun.
                Generasi sekarang mungkin hanya mengenal nama Mak Erot. Seorang tokoh pengobatan legendaris khusus laki-laki yang kini telah tiada. Nama lain yang tak kalah kesohornya yang hampir mirip adalah Mak Eroh, generasi sekarang mungkin tak mengenal nama ini. Tahun 1988 nama Mak Eroh sempat menyedot perhatian publik nasional. Saat itu semua orang ramai memperbincangkannya. Mak Eroh, waktu itu berumur 50 tahun, perempuan dari Kampung Pasirkadu, Desa Santana Mekar, Kecamatan Cisayong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, memang telah mengukir prestasi besar.
                Apa yang membuat nama Mak Eroh melambung? Mak Eroh bergelantungan seorang diri di lereng yang tegak di tebing cadas, di lereng timur laut Gunung Galunggung. Mak Eroh berhasil berjuang sendirian membuat saluran air sepanjang 47 hari. Ketika pertama kali melakukannya, banyak masyarakat sekitar yang mencibir, namun itu tidak menyurutkan langkahnya untuk terus bekerja. Mak Eroh percaya akan kemampuan dirinya walau saat itu boleh dibilang tidak muda lagi. Seorang wanita seusianya semestinya menikmati hari tua dengan menimang atau bermain bersama cucu.
                Mak Eroh yang hanya mengecap pendidikan hingga kelas 3 SD dan memiliki tiga orang anak, dalam aksinya menggunakan tali areuy, sejenis tali rotan sebagai penahan ketika bergelantungan. Dan alat yang dipakai untuk mengebor tebing cadas hanyalah cangkul dan balincong, sejenis linggis pendek.
                Saluran untuk mengalirkan air dari Sungai Cilutung akhirnya berhasil diselesaikan. Berhentikah tindakan Mak Eroh mengebor tebing cadas? Belum. Dengan semangat tak kenal menyerah, Mak Eroh melanjutkan membuat saluran air berikutnya sepanjang 4,5 kilometer mengitari 8 bukit dengan kemiringan 60-90 derajat. Bukan main! Pengerjaannya kali ini dibantu oleh warga desa yang mau membantunya setelah melihat dengan mata kepala sendiri hasil yang telah dilakukan Mak Eroh. Dalam waktu 2,5 tahun pekerjaan lanjutan itu terselesaikan dengan baik. Hasilnya? Bukan hanya lahan pertanian sawah Desa Santana Mekar yang terairi sepanjang tahun. Dua desa tetangga juga ikut menikmati kucuran air hasil kerja keras Mak Eroh setelah warganya membuat saluran penerus, yaitu Desa Indrajaya dan Sukaratu.
                Aksi Mak Eroh akhirnya sampai juga ke telingan Presiden Soeharto. Atas aksinya yang tergolong berani dan memberikan manfaat besar bagi masyarakat sekitar Mak Eroh mendapat penghargaan Upakarti Lingkungan Hidup pada tahun 1988. Setahun kemudian, dia juga meraih penghargaan lingkungan dari PBB.
                Dua kisah di atas memberikan hikmah bahwa sebenarnya kita memiliki kepercayaan diri yang tinggi atas kemampuan yang kita miliki. Seperti yang dikatakan Mary Kay Ash, pengusaha kosmetik sukses asal Amerika, ”Anda bisa melakukannya jika Anda berpikir demikian, dan jika Anda kira tidak dapat melakukannya, Anda benar.” Percayalah akan kemampuan diri sendiri. Jadilah lokomotif dan teruslah bergerak maju.

Jumat, 14 Februari 2014

Memaknai Hari Ulang Tahun


            Apa yang akan Anda lakukan jika tiba-tiba dokter memvonis hidup Anda tak akan lama lagi? Biarpun si dokter bukan Tuhan yang bisa menentukan kapan hidup kita akan berakhir, kita tetap saja gemetar. Lutut mungkin langsung terasa copot. Hati menjadi ciut. Pikiran pun mengkeret. Dan, tak akan ada lagi boro-boro tahun depan, bulan depan pun mungkin sudah tak ada.


                Mungkin boleh juga kita kupas cerita tentang Burt Simpson, seorang polisi asal Seattle, Amerika Serikat. Menurut dokter, setelah memeriksa hasil laboratorium yang rutin dilakukan Simpson, hidupnya diramal tak lebih dari dua minggu lagi. Simpson tentu saja terkejut. Awalnya, dalam tugas sehari-hari, Simpson sangat takut tertembak penjahat. Tetapi, setelah mendengar  vonisnya, Simpson berubah menjadi berani,  bahkan boleh dibilang nekat. Simpson malah mencari-cari risiko berhadapan dengan maut. Dalam otaknya, dia akan mati kapan saja, buat apa harus hati-hati. Kalaupun ia mati dalam tugas, keluarganya akan dijamin dengan tunjangan oleh negara. Namun, kalau ia mati secara alami, negara tak bisa memberikan apa-apa selain lencana. Begitu pikirannya. Eh, ternyata semua itu palsu. Vonis dokter yang mengatakan penyakit anehnya akan membuat dia mati tak berbuah hasil. Peluru pun tak mau mampir ke tubuhnya. Dua minggu telah lewat, bukan hanya segar bugar, Simpson pun memiliki ”koleksi” para penjahat untuk dikirim ke hotel prodeo.


                Apa yang dialami Simpson memang hanya ada di film ”Short Time”. Film komedi keluaran tahun 1990 ini menampilkan aktor kawakan Dabney Coleman sebagai Detektif Burt Simpson. Kita memang tidak perlu bersikap dan bertindak seperti Simpson, nekat dan selalu siap menantang maut. Pelajaran sederhana yang dapat diambil dari film tersebut adalah kita bisa jadi akan selalu berbuat baik bila selalu ingat akan mati.


                Kita memang baru saja merayakan ulang tahun kemerdekaan bangsa ini. Tradisi memperingati hari ulang tahun memang berlaku untuk siapa saja, tidak hanya bagi setiap individu, tetapi juga bagi negara. Ulang tahun adalah contoh bagaimana memperingati hari bersejarah dalam hidup kita. Oleh karena itu, setiap tahun pun biasanya kita selalu merayakannya. Mungkin secara sederhana dengan mengajak makan bersamakeluarga atau kolega, atau yang lebih wah, mengajak para teman dan handai tolan untuk berpesa semalam suntuk.


                Pertanyaannya, makna apa yang sesungguhnya dapat diambil dalam setiap ulang tahun yang kita peringati? Yang pasti, dengan bertambahnya angka, secara denominasi usia justru makin berkurang. Dengan usia yang makin berkurang artinya kita malah makin mendekat pada kematian itu sendiri.


                Dalam sebuah acara seminar, salah seorang politisi Partai Golkar, Yusuf Sukardi, menjelaskan lima arti penting dalam memperingati hal yang bersejarah dalam kehidupan kita. Pertama, peringatan harus merupakan cermin atau neraca perjalanan kehidupan. Artinya, dengan peringatan itu kita dapat mengambil hikmah atas segala hal yang kita perbuat di masa lalu. Kedua, sebagai pembangkit motivasi. Suatu peringatan harus dapat memotivasi agar berbuat lebih baik dan lebih baik lagi, serta tidak terjebak dalam kesulitan yang terjadi di masa lampau. Ketiga, sebagai alat untuk melakukan introspeksi diri. Keempat, peringatan harus menjadi titik awal penyusunan rencana selanjutnya yang lebih baik. Dan, terakhir, yang paling penting, untuk memaknai kehidupan hari esok yang lebih baik.


                Betul, seandainya dapat memaknai hidup ini dengan lebih baik, kita tentu akan merasa bahwa waktu yang diberikan kepada kita pendek. Kita tentu akan berusaha untuk selalu berbuat baik.


                Itulah yang dialami Gitta Sessa Wanda Cantika. Walau harus mati di usia muda, Gitta tahu bagaimana mamaknai hidup dengan penuh arti. Gitta Sessa Wanda Cantika adalah mantan artis cilik di tahun 1999. Ia dinyatakan terkena penyakit kanker ganas yang hanya butuh waktu lima hari untuk berkembang. Gitta pun pasrah melewati hidupnya dengan kanker ganas yang mengenai wajahnya hingga akhirnya menyentuh paru-paru.


                Tapi, dia tetap tegar dan tidak mengeluh sedikitpun. Hebatnya dari gadis ini, ia tetap ingin menuntut ilmu walau keadaannya seperti itu. Ejekan dari orang yang melihat tidak dihiraukannya. Saat ujian kenaikan kelas tangannya tak mampu lagi bergerak hingga hidungnya mengeluarkan darah mimisan. Tapi, Gitta tetap bertahan hingga ujian berakhir, dan dinyatakan lulus naik kelas. Tekadnya yang membaja terdengar ke Presiden Megawati hingga akhirnya beliau memberikan penghargaan khusus kepadanya sebagai siswa teladan.


                Umur Gitta mungkin terasa singkat baginya. Tapi, sesungguhnya ia menjalaninya dengan penuh makna. Kualitas hidup seseorang memang tidak ditentukan oleh berapa lama kita hidup, yang lebih penting justru bagaimana kita mengisi hari demi hari dalam kehidupan itu sendiri dengan penuh arti. That’s right, Brother.

Rabu, 05 Februari 2014

Wasit untuk Diri Sendiri


Mamad adalah orang yang sederhana dalam pola pikir dan menjalani hidup. Namun, siapa sangka di balik itu tampak kejujuran yang luar biasa. Di kantor tempatnya bekerja, dia tak mau menggunakan selembar kertas pun untuk kepentingan pribadi padahal tak ada yang melihat dan mengawasinya. Selembar kertas dari setumpuk yang tersedia tak pernah dipakainya untuk keperluan dirinya. Boro-boro kenal dengan Mr. Brooks, yang kutipannya dipakai dalam tulisan kali ini, Mamad dengan segala kepolosannya bisa memenangkan pertarungan luar biasa yang dimaksudkan Brooks. Selembar kertas bisa menjadi ajang berat bagi hati nurani Mamad, tetapi Mamad bisa memutuskannya dengan sempurna, kertas itu milik kantor dan dia tak berhak menggunakannya. Hampir tak ada konflik didalamnya karena Mamad sudah mendapatkan jawabnya.
                Si Mamad, tokoh itu, memang hanya ada dalam film karya Sjumandjaja. Sepulang dari belajar film di Rusia, Sjumandjaja membuat film itu dengan memasang aktor andal, Drs. Purnomo alias Mang Udel. Pesan dalam film ini mudah sekali ditangkap, begitu berhadapan dengan segala benturan kepentingan yang berhadapan, selalu ambillah pilihan yang benar dan tepat. Sekali lagi, sebelum memutuskan sesuatu, Mamad pasti berkonflik dalam dirinya. Beli kertas di luar lebih baik ketimbang mengambil sesuatu yang bukan miliknya.
                Apakah kita sudah berlaku seperti Mamad? Rasanya berat sekali dan jelas sulit dilakukan. Saat di kantor, kita selalu kalah. Pesawat telepon di atas meja kita ambil lalu kita putar nomor telepon seluler kawan untuk memastikan pertemuan reuni dengan teman lain semasa kuliah dulu. Persis seperti Mamad, namun bedanya kita kalah dengan konflik itu sendiri. Menelepon dengan fasilitas kantor untuk keperluan pribadi, ehm, gratis sih, tapi apakah tindakan itu benar? Apalagi kantor sudah berbaik hati memberikan sedikit subsidi pulsa. Tentu saja kita bisa berdalih, ah, semua orang di kantor malakukannya, dan waktu yang dipakai untuk menelepon itu toh hanya sebentar. Lagipula, nah alasan ini yang biasanya sering muncul, kantor untung terus tapi kenaikan gaji hanya sebesar upil. Jadi, boleh dong memakai telepon kantor. Namun, sekali waktu bila tagihan telepon di rumah melambung, tinggi dan ternyata pemakai pulsa itu si pembantu atau pengasuh anak untuk berhalo-halo dengan bedinde di luar kota, sudah jelas meledaklah kemarahan kita. Pembantu rumah tangga yang memakai telepon majikannya adalah salah satu contoh ketika benturan kepentingan terjadi. Si pembantu tak bisa menjadi wasit yang paling adil. Semestinya, walaupun dia menguasai telepon pada masa-masa tertentu saat kedua majikannya pergi bekerja, dia tak boleh memakai telepon tersebut.
                Benturan kepentingan sering kali kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, yang kelihatannya ringan sekalipun, bahkan tanpa sadar kita lakukan sendiri, misalnya memarkir mobil di jalan, bukan di garasi, padahal itu jalan umum, menggunakan internet untuk urusan pribadi, seperti chatting, mengirim dan menerima email, atau hanya sekadar browsing, atau menggunakan kendaraan kantor untuk urusan dugem.
                Kelihatannya memang sepele. Kita bahkan menganggapnya sebagai hal biasa dan tak ada rasa bersalah. Tetapi, patut diingat bahwa hal-hal kecil seperti ini adalah awal dari dilakukannya kesalahan besar. Koruptor di negara ini, dalam melakukan tindakan kriminalnya, tentu tidak ujug-ujug langsung melakukan korupsi, tentu dimulai dari hal-hal kecil seperti ini. Dari kebiasaan yang buruk dan terus dilakukan secara berulang-ulang inilah akhirnya mereka berani melakukan kesalahan besar.
                Dalam laporannya di edisi ajauni 2007, majalah Gatra secara khusus membeberkan adanya proyek-proyek pemerintah yang dinilai berbau benturan kepentingan. Perusahaan-perusahaan yang menangani proyek pemerintah tersebut dimiliki oleh pejabat atau keluarga pejabat yang masih memangku jabatan di pemerintahan. Negara ini pun sesungguhnya sudah menangani dan menindaklanjuti secara hukum beberapa kasus yang berbau benturan kepentingan. Kasus serupa menimpa PT PGN yang diganjar sanksi administratif berkaitan kasus informasi orang dalam(insider trading).
                Tuh kan, dari hal kecil bisa menjadi kebiasaan buruk. Ketika menghadapi masalah yang terkait dengan benturan kepentingan ini, kita memang dihadapkan pada keadaan dilematis, kadang-kadang bagai makan buah simalakama, ”dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu yang mati”. Bagaimana caranya agar kita dapat mengatasi masalah yang terkait dengan benturan kepentingan? Pertama kali kita harus secara sadar dan bertanggung jawab mengetahui terlebih dulu mana kepentingan yang merupakan wilayah publik dan mana kepentingan yang merupakan wilayah pribadi. Setelah mengetahuinya, berpikirlah dengan hati yang jernih. Apabila mau berpikir ke depan, bukan untuk kepentingan sesaat dengan tujuan mengutamakan kemaslahatan orang banyak, kita dapat memutuskan kebijakan dan keputusan terbaik agar terhindar dari benturan kepentingan. Pada walnya mungkin sulit, tetapi bila mau dan memang harus mau, selanjutnya akan mudah.
                Konflik terbesar bukanlah dengan orang lain melainkan dengan diri kita sendiri. Sudah menjadi hukum alam, selama hidup di dunia, benturan kepentingan akan selalu menyertai langkah kita. Semua terserah kita sendiri, larut dalam kesenangan yang bukan menjadi hak atau meraih kemenangan dari perang sesungguhnya yang kita pilih. Bisa???